Selasa, 23 September 2014

Bali,Reklamasi & Revolusi by (JRX)

Bali, Reklamasi & Revolusi   (JRX)

Bali.
Nama yang begitu pendek untuk sebuah pulau yang punya begitu panjang runutan masalah. Sejak tumbangnya Soekarno dan masuknya penanaman modal asing (PMA) oleh Soeharto lewat Keppres pertamanya sejak diangkat menjadi Presiden, pulau Bali sudah didesain sedemikian rupa untuk menjadi sapi perah pusat. 1965 saat Bali masih memiliki basis kuat di pertanian, secara umum petaninya lebih condong berkiblat pada PKI yang getol memperjuangkan Undang Undang Landreform. Setelah PKI ditumpas dan masuknya PMA, makin matilah pertanian di Bali. Arah pembangunan kemudian dibelokkan ke industri pariwisata. Para petani tidak lagi berani mengungkap UU Landreform karena takut dituduh PKI. Para intelektual progresif Bali yang berpotensi menggagalkan agenda pusat dengan mudah dicap 'komunis' lalu atas restu dan dukungan penguasa, mereka beramai-ramai dihabisi. Jenazah-jenazah mereka dikuburkan secara massal di beberapa tempat yang diatasnya kini berdiri sombong hotel-hotel mewah berbintang. Yup. Secara literal, industri pariwisata di Bali memang dibangun di atas darah orang tak berdosa.

Karakter orang Bali yang kebanyakan polos, ramah dan toleran makin memudahkan laju penguasa memeras potensi dan kekayaan Bali. Nama Bali selalu laku 'dijual' khususnya di Bali Selatan (Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Seminyak, Canggu). Sedikit-sedikit bikin konferensi di Bali. Alasannya selalu "memperkenalkanBali di mata dunia". OK. Di awal era industri turisme dan Bali belum begitu terkenal seperti saat ini, jargon tersebut mungkin masih relevan. Tapi kini, atau setidaknya 10 tahun terakhir, ketika popularitas Bali sudah melebihi popularitas Indonesia, jargon tersebut masihkah relevan? Well, bagi penguasa dan pemodal, tentu saja jargon tersebut tak pernah punya masa kadaluwarsa. Selama masih bisa dijual, kenapa tidak?

Miss World digelar di Bali, para kontestan diuji 'kecerdasannya' tapi tak satupun dari mereka sadar jika pulau yang mereka singgahi ini alam dan budayanya sedang dilacurkan oleh penguasanya. Perhelatan akbar bertaraf internasional digelar, mengundang ratusan CEO dan Presiden dari seluruh dunia ke Bali, apa yang Bali dapat? Cuma satu: Macet. Tapi tidak apa-apa, yang penting proyek lancar, toh penguasa dan pemodal tersebut tidak tinggal di Bali. Peduli apa mereka sama macetnya Bali?

Makin berbondong-bondonglah investor menanamkan modal-nya di Bali. Tak ketinggalan para koruptor pun ikut-ikutan investasi di Bali. Peduli setan akan ketimpangan pembangunan diBali. Peduli setan akan makin terpinggirkannya masyarakat lokal di tanahnya sendiri. Bali hanyalah angka-angka di mata para penguasa dan pemodal rakus, dan kami penduduk lokal, adalah penonton yang baik. Tanpa dibekali pendidikan yang memadai, kami dipaksa bersaing dengan tenaga kerja asing/luar Bali yang lebih terlatih. Akhirnya, diiming-imingi pekerjaan sebagai sekuriti, pelayan dan tukang kebun saja kami sudah senang. Relakan jabatan yang lebih terhormat menjadi milik tenaga kerja asing atau luar Bali. Kami, lokal, puas menjadi penonton saja.

Tapi cukup adalah cukup. Ketika ketidakadilan semakin merajalela, perlawanan pun perlahan tumbuh. Sedikit demi sedikit semangat perlawanan itu mengeras dan akhirnya menemukan 'lawan' nya, yaitu mega-proyek Reklamasi Teluk Benoa seluas 838 Hektar yang merupakan proyek milik investor besar Jakarta yang didukung oleh beberapa penguasa pusat maupun daerah. Di pulau bikinan tersebut rencananya akan dibangun sirkuit F1, lapangan golf, wahana sekelas Disneyland dan lain-lain. Bali Selatan (yang sudah sumpek) dipastikan akan bertambah sumpek dan masyarakat lokal akan makin termarjinalkan secara sosial-ekonomi setelah adanya pulau baru tersebut. Kami yang gelisah akan penjajahan berkedok pembangunan dan pariwisata ini membentuk sebuah gerakan kolektif  non-political bernama ForBALI (Forum RakyatBali Tolak Reklamasi) yang terdiri dari aktivis, seniman, musisi, blogger, penulis, mahasiswa, pengacara, guru yoga hingga penggiat pariwisata. ForBALI tidak didominasi orang Hindu saja, semua agama ada di kolektif ini. Di mata kami, orang-orang yang percaya akan sebuah perjuangan untuk keadilan, proyek reklamasi ini bukanlah sekedar proyek, tapi merupakan simbol 'penjajahan dan pembodohan' yang harus dihentikan. Kami tidak anti dengan yang namanya pembangunan, tapi ketika pembangunan tersebut hanya didasari hitung-hitungan bisnis semata tanpa memihak pada keseimbangan ekologi dan kepentingan jangka panjang orang banyak, hal tersebut tidak boleh dibiarkan. Ini rumah kami. Masa depan rumah kami, kami yang tentukan.

Perlawanan pun kami kobarkan. Kami aktif menggelar beberapa demonstrasi, konser dan diskusi publik bertemakan Bali Tolak Reklamasi. Kami juga membuat merchandise, menciptakan lagu mars serta video klip Bali Tolak Reklamasi. Perlawanan kami berbuah manis. Movement kami mendapat banyak simpati dan dukungan, terutama dari kaum muda. Bukan hanya di Bali tapi juga dari luar Bali hingga luar negeri. Seniman-seniman berkualitas seperti bang Iwan Fals, Sawung Jabo, Glenn Fredly, Seringai, Happy Salma, Kirana Larasati, Djenar Maesa Ayu, Kartika Jahja dan lain-lain ikhlas memberi dukungan tanpa diiming-imingi bayaran atau hal-hal semacam itu. Bahkan anak-anak kecil di gang-gang perumahan sempit di Bali sering kami temui menyanyikan mars Bali Tolak Reklamasi. Benar-benar perjuangan yang menyentuh grass-roots.

Semangat perlawanan kami makin menjadi-jadi, apalagi feasibility study (FS) atau studi kelayakan yang dilakukan oleh para ilmuwan Universitas Udayana Bali jelas-jelas menyatakan proyek reklamasi tersebut tidak layak. Setelah FS keluar, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang sedari awal sudah terbukti mencoba segala cara untuk memuluskan proyek ini pun terpaksa menyatakan reklamasi tidak akan dilakukan. Namun anehnya, hingga detik ini ia bersikukuh tidak mau mencabut SK Reklamasi yang ia terbitkan.

Selain berbuah manis, perlawanan kami juga memiliki sisi pahitnya. Kami mulai diintimidasi dan dibenturkan dengan ormas-ormas berbadan kekar yang memang sedang marak dan menjamur di Bali. Setiap aksi demonstrasi maupun konser kami selalu didatangi orang-orang kekar. Mereka mencoba memprovokasi agar kami panas hingga mereka punya alasan untuk melakukan apa yang sudah mereka rencanakan. Untung saja tak sekalipun kami terpancing.

Saya pribadi mulai diteror, bisnis saya Twice Bar di Gang Poppies 2 mulai didatangi orang-orang 'aneh' berperawakan mirip tentara. Mereka mencoba mengais-ngais informasi tentang di mana alamat rumah saya dan hal-hal semacam itu. Sedikit cerita. Tahun 2001, kawan baik saya di Canggu pernah memimpin penduduk desa untuk melawan investor yang hendak mengeksploitasi alam desanya. Dengan tuduhan (yang tidak pernah terbukti) terlibat bom Bali 1, kawan saya akhirnya dijebak dan seluruh keluarganya dipenjara. Investor yang dia lawan saat itu adalah investor yang ada dibalik proyek reklamasi saat ini. Insting saya mengatakan mungkin ada skenario untuk menjebak saya agar saya tak bisa lagi melawan.

Lalu ada satu kejadian ganjil di Malang saat SID konser di sana. Ini tepat sehari sebelum hasil FS diumumkan ke publik. Saat kami selesai manggung, bus kami meluncur menuju hotel, beriringan dengan bus St.Loco yang ada di depan kami. Saat tiba di lobby hotel, saya mendengar teriakan kesakitan yang berasal dari Beery, vokalis St.Loco. Ternyata dia disiram air keras oleh orang tak dikenal. Si penyiram langsung kabur entah kemana. Dari beberapa saksi yang sempat melihat si pelaku, terkumpul informasi bahwa sebelum melancarkan aksinya si penyiram sempat bertanya kepada staff hotel "Benar di sini hotelnya SID?" Dari fakta-fakta tersebut silakan anda simpulkan sendiri, apa sebenarnya motif penyiraman air keras tersebut.

Atas saran kawan-kawan, saya cooling down sebentar. Tapi perlawanan tetap berjalan. Diskusi dan konser bertema Bali Tolak Reklamasi terus digelar, perlawanan dan edukasi via social-media juga semakin digencarkan. Drama reklamasi ini  seolah membawa kami kembali hidup di era 1965. Jika dulu para intelektual kiri yang dicap komunis diadu dan dihabisi oleh para tameng yang didukung RPKAD, kini penguasa di Bali mengadu kaum intelektual progresif dengan ormas berbasis kekerasan. Perang saudara ada di depan mata. Mungkin bagi mereka, para penguasa dan pemodal, tak apalah ada sedikit darah asal pembangunan proyek reklamasi ini jadi.

Jika penguasa mencoba memenangkan perang ini dengan bermain di ranah manipulasi media, intimidasi dan kekerasan, maka kami melawan dengan cara yang lebih tampan. Dengan dana pribadi, kami ForBALI terbang ke Jakarta dan menyusun agenda demonstrasi di depan Istana Presiden dan mengadakan diskusi serta panggung musik bertema Selamatkan Pesisir Indonesia di kampus Moestopo. Kedua acara berjalan dengan sangat sukses dan dihadiri ratusan orang. Dari atas mobil pick-up, saya bersama kawan-kawan musisi Bali (Navicula, The Hydrant, The Bullhead, Made Mawut) sempat menyanyikan mars Bali Tolak Reklamasi di depan Istana Presiden. Saat kami di Jakarta, sebenarnya kondisi Jakarta sedang berduka akibat banjir yang melanda. Tapi apa boleh buat, tekad kami sudah bulat, aspirasi harus tetap kami sampaikan. Pesan saya buat Jakarta, tolong segera cari solusi besar agar Jakarta tak banjir lagi, jadi kami yang di daerah dan dijajah pusat bisa sering-sering demo ke Jakarta. Haha. Bercanda mas.

Selepas aksi kami di Jakarta, denyut gerakan Bali Tolak Reklamasi kian menjadi-jadi. Beberapa desa di Bali Selatan mulai berani terang-terangan menyatakan penolakannya. Mereka memasang spanduk-spanduk penolakan dan turun ke jalan berdemo di depan kantor Gubernur Bali. Tapi bukan Indonesia namanya jika penguasa menyikapi aspirasi rakyatnya dengan cara-cara ksatria. Kali ini cara menyikapinya sungguh “jenius” yaitu menangkap beberapa warga desa yang terlibat demo dengan tuduhan mengancam keselamatan Gubernur. Gila. Sudah dilindungi polisi, ormas kekar, dukun sakti dan lain-lain, Gubernur kami masih merasa sedemikian terancamnya. Bagi kami, penangkapan tersebut hanyalah indikasi ketakutan penguasa terhadap gerakan tolak reklamasi ini. Warga ditangkap untuk menakut-nakuti desa lain agar tidak ikut menolak reklamasi. Yup, rupanya orde baru masih belum enyah dari Indonesia.


Penangkapan empat warga Desa Sidakarya juga tidak berhasil menyurutkan gerakan Bali Tolak Reklamasi. Berbagai konser solidaritas untuk keempat warga yang ditangkap pun diadakan. SID, Nosstress, Nymphea, Patrick And The Bastard, Mr Botax dan beberapa band lain turut mendukung panggung-panggung solidaritas tersebut. Desa Sidakarya bahkan makin kompak dan solid dengan penolakannya.

Perlahan, aksi-aksi solidaritas tersebut membuahkan hasil. Berbagai organisasi lokal, nasional (Komnas HAM, Kontras dll) serta internasional (Greenpeace) mengirimkan surat keberatan mereka atas penahanan tanpa bukti kuat keempat warga tersebut. Kamis 28/03/2014 akhirnya keempat warga Desa Sidakarya ditangguhkan penahanannya serta dibebaskan oleh Polda Bali. SID dan ForBALI langsung menemui mereka di desanya. Jangan sampai mereka merasa perjuangan mereka tidak ada artinya, karena sejatinya ini hanyalah awal dari sebuah kemenangan untuk rakyat dan alam Bali yang puluhan tahun dijajah kapital rakus dan kesewenangan kuasa. Jika nanti perlawanan kami berhasil, kami berharap akan bermunculan lebih banyak lagi gerakan-gerakan melawan penjajahan dan pembodohan lain yang sedang terjadi di pulau ini.

Meski banyak anak muda mendukung gerakan kami, dan gerakan ini perlahan membesar, tapi tak sedikit juga muncul suara-suara sumbang yang menuduh kami, khususnya musisi, hanya memakai isu Bali Tolak Reklamasi sebagai kendaraan untuk meraih popularitas. Masih banyak anak muda yang awam akan arti sebuah perjuangan yang tulus. Tak bisa kami salahkan juga. Kami maklum, mereka sedari kecil sudah dicekoki media mainstream yang mengajarkan mereka jika musisi yang baik adalah musisi yang tak boleh memiliki opini apapun selain opini musik dan opini tentang sosialita tolol yang hendak mereka tiduri. Seketika kami, para musisi yang menolak tunduk terhadap penjajahan dan pembodohan, terlihat aneh di mata mereka para pelahap musik dan media mainstream. Namun suara-suara sumbang tersebut tak berhasil memadamkan api kami untuk terus melawan. Apa gunanya kami bernyanyi tentang perubahan dan perlawanan jika itu hanya sebatas di mulut saja? Ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral kami terhadap lirik-lirik yang kami tulis. Dan kami tidak takut.

Kalian dengar itu. KAMI TIDAK TAKUT!


JRX

(Untuk info lengkap tentang gerakan Bali Tolak Reklamasi, kunjungi www.forbali.org dan follow @forbali13. Dukung gerakan Bali Tolak Reklamasi dengan mengisi petisi yang tersedia di web ForBALI atau dengan membeli t-shirt Bali Tolak Reklamasi)



Tulisan ini dicetak dalam kolom National Affairs majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2014.

0 komentar:

Posting Komentar

Song : "See You Again" - Wiz Khalifa ft Charlie Puth

Text Widget

Copyright © xBOYx | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com